Pembelajaran yang bersifat negative memang lebih mudah dicerna daripada pembelajaran yang bersifat positip. Jadi tidaklah mengherankan bila dimana-mana sering terjadi bentrokan antar kelompok yang mengusung kepentingannya masing-masing. Bila ‘orang-orang yang di atas’ tidak segera memperbaiki / memberi contoh yang baik kepada ‘orang-orang yang di bawah’ sekaligus membudayakan kekerasan, lama kelamaan hukum rimba akan segera hadir di tengah kehidupan kita, hukum yang menonjolkan okol (jawa : otot) daripada akal karena ketiadaan nurani para pemimpin kita yang dilandasi moral yang jeblok. Karena kebobrokan moral dan ketiadaan nurani itulah banyak pemimpin kita yang lebih senang melakukan tebar pesona sambil (kalau perlu) melakukan tindak kekerasan demi tercapainya tujuannya daripada bekerja nyata meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pernah suatu saat, ketika saya berkesempatan tinggal di Kawasaki Jepang, saya berpapasan dengan serombongan pelajar putri yang masih berseragam sekolah. Tak jauh dari mereka ada serombongan pemuda. Apa yang terjadi? Tidak ada siulan nakal maupun godaan-godaan berbau porno yang terlontar dan rombongan pelajar putri itupun lewat dengan tenangnya. Tidak bisa dibayangkan kalau hal ini terjadi di Jakarta. Ini merupakan ‘peristiwa aneh’ yang baru saya temui. Namun ternyata itu bukan satu-satunya ‘peristiwa aneh’ yang tidak mungkin saya temui di Jakarta. Berjajar rapinya antrean para calon penumpang bus kota yang dengan sabar menunggu giliran naik bis kota atau adanya perlakuan khusus bagi orangtua (di tiap bis kota pasti disediakan kursi khusus bagi orangtua dan tidak ada seorang mudapun yang akan mendudukinya meskipun saat itu kursinya kosong dan bis kota sedang penuh) adalah contoh ‘peristiwa aneh’ yang lain. Saya tak habis pikir, mengapa hal itu bisa terjadi.. Kita sama sekali tidak pernah melihat, misalnya, adanya saling serobot, atau tawuran pelajar, yang notabene merupakan generasi penerus bangsa. Perasaan aman akan selalu menyertai kita kemanapun kita pergi. Orang mabukpun akan jongkok di tempat menunggu sampai mabuknya hilang dan bukannya mengamuk tidak keruan seperti di Jakarta.
Penghargaan atas hak-hak orang lain kembali penulis temui saat berkesempatan tinggal di San Jose, California – USA. Kebetulan saat itu bertepatan dengan rencana pemerintah county (setingkat kabupaten) melakukan perubahan jalur bis kota. Ada yang akan dihapus, ada pula yang akan ditingkatkan frekuensinya. Namun ternyata pekerjaan itu tidak semudah yang penulis bayangkan. Untuk melaksanakannya, pemerintah harus melakukan beberapa kali dengar pendapat dengan masyarakat yang memanfaatkan jasa transportasi ini. Bahkan prosesnya, yang mungkin terasa bertele-tele bagi sebagian pengambil keputusan di Indonesia, memakan waktu lama. Kurang lebih 2 tahun sebelum pemerintah kotapraja dapat melaksanakan rencananya. Itupun hanya sebagian rencana saja yang bisa dijalankan. Sebagai catatan tambahan, pemerintah sama sekali tidak melakukan kekerasan misalnya dengan tiba-tiba semakin memperjarang frekuensi bus yang melewati jalur yang akan dihapuskan sampai mendapat lampu hijau dari masyarakat pengguna bis kota. Itulah yang dinamakan Negara demokrasi : dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat – bukan dari rakyat, oleh rakyat untuk pejabat..
Pembelajaran yang dilakukan pemerintah Jerpang maupun A.S. kepada rakyatnya tentang moral patut ditiru para pamong kita. Sistem pendidikan kita sebenarnya juga sudah memasukkan unsur pendidikan moral / akhlak ke dalamnya. Pendidikan Moral Pancasila atau Agama adalah contohnya. Namun mengapa hasil pendidikan itu tidak bisa mengejawantah pada kehidupan bermasyarakat sehari-hari? Menurut penulis hal itu bisa terjadi karena system pendidikan kita hanya berbasis teori saja. Untuk kedua mata pelajaran itu sebaiknya juga menyertakan praktek lapangan. Jadi meskipun hasil tes hariannya (teori) bagus, namun praktek lapangannya buruk, maka guru sebaiknya tidak meluluskannya.
Calon pemegang tongkat estafet pemerintahan yang lulus dengan nilai bagus tapi moralnya bobrok hanya akan menjadi pamong acakadud. Lebih mengandalkan okol (jw : otot) daripada akal. Ilmu hukum ataupun pendidikan moral / akhlak hanya mandeg di kelas sedangkan di luar kelas hukum rimbalah yang berlaku. Hukum yang dianut para preman. Siapa yang kuat, itulah yang menang. Kata kuat di sini tidak selalu dikonotasikan dengan badan besar bak Arnold Schwarzeneger atau berotot kawat bertulang baja bak Gatotkaca namun juga dikonotasikan dengan Gizi (baca : uang).. Maka tidaklah mengherankan ketika penulis mengurus surat, si pamong praja tanpa malu-malu langsung bertanya : ‘Mau lewat jalan tol atau jalan biasa?’ Kita semua mafhum bahwa si aparat akan segera mengurus surat yang kita butuhkan asal memberinya gizi yang cukup. Si pamong praja benar benar melaksanakan ilmu yang didapatnya ketika masih sekolah.
Kita semua pasti pernah mendengar peribahasa ‘buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya’. Segala aksi yang dilakukan pemerintah maupum parlemen dapat dikatakan sebagai pembelajaran bagi rakyat tentang bagaimana cara mencapai tujuan. Lakukan kekerasan (baik itu dilakukan secara terang-terangan atau tidak). Jadi tidaklah mengherankan bila dimana-mana sering terjadi bentrokan antar kelompok yang mengusung kepentingannya masing-masing. ( Suharyo Widagdo )