Kisah nenek ini terjadi jam 9 hari ini, ada kegiatan Maulid besar-besaran di samping rumah. Meriaaaahhh sekali... Yang datang penceramah provinsian, dari Pinrang. Namanya juga penceramah provinsian, ya dia ceramah keliling dari satu provinsi ke provinsi satunya lagi.
Kegiatannya berjalan tentram, damai, tenang, tidak ada suara. Suara jangkrik dan kodok juga gak ada. Lebih mirip acara tahlilan. Tahlilan juga lebih ramai, ada suara mengaji sama nangis, hikhikhik.. ).
Kisah Nenek Tentang Kumis
Oke, saya kembali lagi mengenai kisah nenek yang tadi. Kegiatannya ramai tapi tenang. Hanya ada segelintir orang krasak krusuk. Di samping kiri aku, ada nenek rentah produksi jaman dahulu ( huzz , emang barang ? )
Si nenek, setiap kali mengangkat wajah terus melihat si penceramah, dia langsung menunduk seolah tidak mampu memanang berlama-lama pada sang Penceramah, lalu tangannya mengarah ke mukanya. Ada apa gerangan ? Sadar ada yang memperhatikan, nenek itu menengok ke arah aku.
Aku senyum. Nenek senyum.
Aku diam. Nenek juga diam.
Nenek berpaling melihat penceramah lagi. Matanya kini mengeluarkan air, deras sekali. Nenek itu menunduk ( lagi ) kemudian mengusap air matanya. Aduh neek.... Aku iba melihatnya. Apakah ceramahnya begitu menyentuh ? Amboi, aku masih belum bisa membaca arti isak tangisnya. Dan aku masih penasaran.
Satu jam setengah sejak pembukaan acara, tiba saatnya pembagian telur. Nenek itu tidak beranjak dari tempatnya. Karena aku terlahir sebagai anak baik-baik ( alhamdulillah ), aku pun mencoba berbicara dengan nenek.
"Nek." Nenek menengok, "Nenek kok... nangis?" Aku bertanya pelan. Nenek diam.
"Ceramahnya sedih sekali, Nek?" lanjutku. Nenek geleng-geleng tapi dia senyum. Kembali tampak air mata menganak sungai di pipi keriputnya.
"Kok Nenek nangis?" Aku bingung.
Nenek menghapus air matanya seraya ber kisah , "kumis penceramahnya mirip punya anak saya yang sudah meninggal."
Sesaat aku diam. Serasa ada batu tiba-tiba menghantam kepalaku. Ingin ketawa soal alasannya itu, tapi takut menyinggung perasaan Nenek.
Dengan tenang aku menanggapi. "Semoga beliau diterima di sisinya." Inilah kisah hari itu. ( Penulis : Fiinny ) Apa hukum merayakan valentine?